Saat mendengar kata
“Caci” pasti terlintas dalam pikiran tentang cacian atau umpatan. Tapi bukan
yang satu ini tentunya, Tarian caci memang berisi pertarungan menggunakan
cambuk dan perisai antara dua penari yang saling melawan, namun nggak berarti
cacian
Tarian asal Flores, Nusa Tenggara Timur ini adalah komunikasi antara Tuhan dan manusia. “Ca” berarti satu dan “Ci” berarti uji. Caci adalah simbol Tuhan, kesatuan, ibu pertiwi dan bapak langit Tari ini umumnya dimainkan saat syukuran musim panen, ritual tahun baru, upacara adat besar, juga dipentaskan saat menyambut tamu penting
Tarian ini merupakan kesenian yang bermakna sebagai media bagi para lelaki Manggarai untuk membuktikan kejantanan baik segi keberanian maupun ketangkasan. Meskipun dalam bentuk pertarungan, kesenian ini memiliki pesan damai seperti semangat sportivitas, saling menghormati, dan diselesaikan tanpa dendam diantara mereka. Hal inilah yang menunjukan semangat dan jiwa persahabatan tertanam di dalam diri mereka
Tari Caci sendiri ada tiga jenis, yaitu Randang Uma untuk syukur
terhadap hasil panen, Caci Lontong Golo bentuk syukur terhadap kesehatan, dan
Caci Randang Weri Leka untuk peresmian kampung. Selain saat upacara syukur,
tarian-tarian ini juga ternyata dimainkan pada acara pesta, atau peristiwa
kebahagiaan
Caci:
Caci atau tari Caci atau
adalah tari perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki
yang bertarung dengan cambuk dan perisai di Flores, Nusa Tenggara Timur,
Indonesia. Penari yang bersenjatakan cambuk (pecut) bertindak sebagai penyerang
dan seorang lainnya bertahan dengan menggunakan perisai (tameng). Tari ini
dimainkan saat syukuran musim panen (hang woja) dan ritual tahun baru (penti) ,
upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar lainnya, serta dipentaskan
untuk menyambut tamu penting.
Seorang laki-laki yang
berperan sebagai pemukul (disebut paki) berusaha memecut lawan dengan pecut
yang dibuat dari kulit kerbau/sapi yang dikeringkan. Pegangan pecut juga dibuat
dari lilitan kulit kerbau. Di ujung pecut dipasang kulit kerbau tipis dan sudah
kering dan keras yang disebut lempa atau lidi enau yang masih hijau (disebut
pori). Laki-laki yang berperan sebagai penangkis (disebut ta’ang), menangkis
lecutan pecut lawan dengan perisai yang disebut nggiling dan busur dari bambu
berjalin rotan yang disebut agang atau tereng. Perisai berbentuk bundar,
berlapis kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Perisai dipegang dengan sebelah
tangan, sementara sebelah tangan lainnya memegang busur penangkis.
Peraturan:
Caci dimainkan dua orang
laki-laki, satu lawan satu, namun memukul dilakukan secara bergantian. Para
pemain dibagi menjadi dua kelompok yang secara bergantian bertukar posisi
sebagai kelompok penyerang dan kelompok bertahan. Caci selalu dimainkan oleh
kelompok tuan rumah (ata one) dan kelompok pendatang dari desa lain (ata pe’ang
atau disebut meka landang yang berarti tamu penantang).Tarian Danding atau
tandak Manggarai ditarikan sebagai pembuka pertunjukan caci. Penari caci tidak
hanya menari namun juga melecutkan cambuk ke lawan sembari berpantun dan
bernyanyi. Lokasi pertandingan caci biasanya di halaman rumah adat.
Bila pukulan lawan dapat
ditangkis, maka pecutan tidak akan mengenai badan. Kalau pecutan tidak dapat
ditangkis, pemain akan menderita luka. Jika mata terkena cambukan, maka pemain
itu langsung dinyatakan kalah (beke), dan kedua pemain segera diganti.
Pertarungan berlangsung
dengan diiringi bunyi pukulan gendang dan gong, serta nyanyian (nenggo atau
dere) para pendukung. Ketika wakil kelompok bertanding, anggota kelompok
lainnya memberi dukungan sambil menari-nari. Tempurung kelapa dipakai sebagai
tempat minum tuak yang dipercaya dapat menggandakan kekuatan para pemain dan
penonton. Seperti layaknya pertandingan bela diri, sebagian penonton ada
mendukung penyerang, sementara sebagian lagi mendukung pemain bertahan. Anggota
kelompok atau penonton bersorak-sorak memberi dukungan agar cambuk dilecutkan
lebih kuat lagi.
Kostum dan simbolisme:
Caci berasal dari kata ca
dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi, caci bermakna ujian satu
lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah.
Pemain dilengkapi dengan
pecut (larik), perisai (nggiling), penangkis (koret), dan panggal (penutup
kepala). Pemain bertelanjang dada, namun mengenakan pakaian perang pelindung
paha dan betis berupa celana panjang warna putih dan sarung songke (songket
khas Manggarai). Kain songket berwarna hitam dililitkan di pinggang hingga selutut
untuk menutupi sebagian dari celana panjang. Di pinggang belakang dipasang
untaian giring-giring yang berbunyi mengikuti gerakan pemain.
Topeng atau hiasan kepala
(panggal) dibuat dari kulit kerbau yang keras berlapis kain
berwarna-warni.Hiasan kepala yang berbentuk seperti tanduk kerbau ini dipakai
untuk melindungi wajah dari pecutan. Wajah ditutupi kain destar sehingga mata
masih bisa melihat arah gerakan dan pukulan lawan.
Bagian kepala dan wajah
pemain hampir seluruhnya tertutup hiasan kepala dan kain sarung (kain destar)
yang dililit ketat di sekeliling wajah dengan maksud melindungi wajah dan mata
dari cambukan. Seluruh kulit tubuh pemain adalah sah sebagai sasaran cambukan,
kecuali bagian tubuh dari pinggang ke bawah yang ditandai sehelai kain yang
menjuntai dari sabuk pinggang. Kulit bagian dada, punggung, dan lengan yang
terbuka adalah sasaran cambuk. Caci juga sekaligus merupakan medium pembuktian
kekuatan seorang laki-laki Manggarai. Luka-luka akibat cambukan dikagumi
sebagai lambang maskulinitas.
Caci penuh dengan
simbolisme terhadap kerbau yang dipercaya sebagai hewan terkuat dan terganas di
daerah Manggarai. Pecut melambangkan kekuatan ayah, kejantanan pria, penis, dan
langit. Perisai melambangkan ibu, kewanitaan, rahim, serta dunia. Ketika cambuk
dilecutkan dan mengenai perisai, maka terjadi persatuan antara cambuk dan
perisai.
Bagi orang Kabupaten
Manggarai, caci merupakan pesta besar. Desa penyelenggara memotong beberapa
ekor kerbau untuk makanan para peserta dan penonton.
2020 @ www.anakdolan.com
Bangga Mencintai Negeri ini INDONESIA. Dan Buanglah Sampah pada tempatnya!
Komentar
Posting Komentar