Langsung ke konten utama

Mengenal Dekat dengan Petani Durian, Sambil Dolan Durian di Bangka



Awal tahun berganti dengan duka di beberapa kota. Banyak yang bersedih tapi ada juga yang mampu beradaptasi. Mencari penghiburan di tengah-tengah benca banjir yang melanda di sejumlah titik Jabodetabek. Usai kondusif, perjalanan berburu durian ke Bangka akhirnya tetap dilakukan.

Berbekal informasi dari pegiat durian di media sosial, saya dan tiga teman seperjalanan yang terhimpun dari sosial media melakukan trip bersama, kami mengawali tahun 2020 dengan dolan durian!

Bersama pemandu lokal, pak haji Sampurno dan Ary Babel kami diajak berkeliling Bangka Barat dan Bangka Tengah selama tiga hari. Mencari durian yang tersohor dari Bangka; Cumasi dan Supert Tembaga.

Hari pertama kami menuju desa Tuik, kecamatam Kelapa. 1.5 jam perjalanan dari bandara Pangkal Pinang. Atmosfernya mirip perjalanan saya sebelumnya ke Pahang, Malaysia. Sepanjang jalan mayoritas ditanami sawit. Kami masuk ke dalamnya dan menemukan perkebunan milik keluarga Wirwanto (29), ia generasi kedua. 

Durian yang ia namai sendiri seperti Upin Ipin (karena bentuknya yang kecil) dan Si Kapas (karena bobotnya yang enteng) jadi dua durian yang menyita perhatian saya dan teman-teman. Kami semua sepakat, kedua durian tersebut unggulan di kebun miliknya.

Walaupun kecil hanya sekepalan tangan, tapi rasa, tekstur, dan warna bikin kami ngiler! Secara rasa, saya lebih suka Upin Upin karena lengket, lembut, dan punya manis pahit serta biji yang kempet. Namun secara warna, Si Kapas lebih menarik. Dengan rasa dan tekstur yang serupa Upin Ipin tapi hanya dibalut pahit yang sangat tipis. Keduanya bikin hangat tenggorokan!

Setelah disuguhi makan siang bintang lima dengan menu kakap dan kepiting segar lengkap bersama lalapan, sayur, dan sambal yang rasanya kelas restoran, kami kedatangan durian dari kebun lain.


Seseorang berbaju kuning itu bilang menempuh jarak 6 kilometer untuk sampai ke kebun Wirwanto. Ia berboncengan dengan balita dan istrinya membawa durian Si Kunyit. Walaupun tak selengket dua durian sebelumnya, durian Kunyit punya rasa yg segar dan tekstur yang "pecah" di mulut saat dilumat. Lumayan ada variasi rasa.

Penutupnya, kami beruntung dapat satu buah durian jatuhan pertama dari buah perdana pohon durian bapak mertua Wirwanto, namanya pak Abdullah Karim (47). Dari pohon yang ia perkirakan lebib 10 tahun itu baru pertama kali berbuah musim ini.

Kami terkejut! Durian yang ia bawa dan belum diberikan nama itu punya warna mirip Si Kapas, tapi dengan tekstur yang lebih kering dan lengket serta biji yang kempes. Cita rasanya seperti gabungan Upin Ipin dan Si Kapas. Lengkap! Harusnya bisa jadi durian unggulan yang baru dari Bangka Barat. Lebih senangnya kami diminta memberikan nama. Ya sudah, salah satu dari kami teriak "Mertua!" Saya timpali "Super Mertua!" Semoga layak disandang menjadi nama durian Super Mertua dari Bangka Barat.

Perjalanan kami lanjutkan ke kebun pak Harun (54), di desa Kedondong, kecamatan Jebus. Tapi sayang durian unggulnya yang sempat juara kabupaten, durian Si Bandar (karena pohonnya di pinggir bandar/parit) belum ada yang jatuh. Tapi lelah kami selama perjalanan dari pukul 3 pagi terbayar di kebun Wirwanto.

Hari kedua di Muntok, Bangka Barat kami bertolak dari penginapan lebih pagi agar bisa ikut sarapan makan penganan khas Bangka; kue-kue manis, kopi, otak-otak, pempek, dan olahan tepung beras dengan sayur kuning. Sederhana namun lezat. Pas untuk isi perut buat fondasi sebelum perjalanan

Selepas itu kami berkeliling wisana di Muntok. Mulai dari mercu suar di Tanjung Kalian, tempat pengasingan Soekarno-Hatta dan tokoh negara RI di bukit Menumbing, sampai ke museum Timah.

Selingan wisata lokal ini membuat saya juga ikut mengenal nilai histori Bangka Barat kala hasrat hanya ingin berburu durian. Bahwa setiap destinasi perburuan durian punya beragam destinasi lain yang menarik selain kuliner.

Selepas istirahat dari perjalanan destinasi tersebut, kami menuju beberapa lokasi perkebunan dan hutan durian. Tujuan pertama ke Delis Tani menyasar Cumasi dan Super Tembaga. Namun kami tidak berhasil mendapat kualitas yang maksimal, terlebih untuk Super Tembaga. Banyak faktor, mungkin cuaca dan hal teknis lainnnya. Semangat terus untuk petani durian!

Tapi saya jadi banyak mendapatkan pelajaran. Pentingnya bertanggung jawab terhadap barang yang dijual adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi. Walaupun pilihannya dihadapkan dengan rupiah di depan mata atau merelakannya untuk investasi kepercayaan dan kepuasan customer.

Kemudian kami lanjut ke pemilik pohon durian Gong Li. Seorang dokter dan pengiat durian yang tinggal di Pangkal Pinang, dr. Ase memberika nama itu karena pohonnya terletak di Simpang Gong. Dan warnanya mirip warna kulit seleb Tiongkok, Gong Li. Genit juga dokter satu ini memang hahaha.. Tapi sayang buah yang kami dapat sudah buah akhir. Rasa pun kurang memikat kami.

Dengan ekspektasi yang merosot pada dua lokasi perburuan durian sebelumnya, akhirnya di tempat ketiga berbuah manis. Semuanya terbayar penuh di sana, di hutan durian milik haji Ulung.

Dua Sosok Istimewa
Untuk usia mendekati kepala enam, menaiki dan menuruni bukit yang terjal masih terbilang lincah. Mengenakan batik merah dan topi, keriput di sekujur tubuhnya menertawakan kami yang muda-muda, tergopoh saat menanjak diselingi rehat sesaat.

Pak haji Ulung, begitu ia akrab disapa. Pemilik 5 hektar hutan durian di kecamatan Simpang Teritip, Bangka Barat. Paling tidak adasekitar 500 batang durian yang ia ingat pernah ditanaminya sewaktu muda karena keinginan untuk memiliki pohon durian. Saat itu teman-teman seusianya justru asyik menikmati pohon durian peninggalan orang tua. Semangat saya ikut terbakar. Ia membuktikan keinginan itu bisa diwujudkan.

Kami serombongan tiba sore hari, menempuh lebih dari 15 menit memasuki hutan. Setibanya di sana kami disambut dengan durian Uren (Orange) yang ia sebut secara sederhana berdasarkan warna daging duriannya. Ratusan pohon lokal di sana enggan ia namai karena takut tak bisa dipertanggung jawabkan antara rasa dan kepopulerannya.

Tidak seperti dua durian bangka yang viral tersebut dan punya harga tinggi namun tahun ini tidak panen dengan performa yang maksimal. Durian-durian no name milik pak haji Ulung justru lebih berkualitas dan berkarakter menurut kami.

Mungkin kami memang sedang kurang beruntung, panen musim ini tidak menghadirkan Cumasi dan Super Tembaga yang mantul. Tapi setelah membuktikan dengan pencarian di Pangkal Pinang, kawan kami, Leo berhasil mendapatkan Namlung yang bagus lewat dagangan durian pinggir jalan Ko Acin.

Pria tua yang sudah berdagang 20 tahun lebih ini sampai membelah empat Cumasinya. Semua mengkal dan berair di dalam. Rasanya pun berantakan, tidak sesuai dengan ekspektasi kamk yang tinggi. Setelah menyerah, ia ingat masih simpan Cumasi dari pohon lain. Segeralah anak bhahnya bawakan dari tempat penyimpanan di lokasi berbeda.

Akhirnya dapat Cumasi yang bagus! Pahit, creamy, beralkohol, daging tebal. Namun permukaan dagingnya masih punya tekstur garing. Entah, kami belum punya perbandingan. Yang kami tahu, malam itu Cumasi terbaik yang kami dapatkan.

Walaupun begitu, kami serombongan yang penasaran dengan Namlung menyatakan sepakat koleksi durian lokal haji Ulung masih lebih berkualitas dengan harga yang jauh lebih terjangkau dan relevan.

Kelekak, Budaya Memberi Manfaat untuk Anak Cucu
Sebelum kembali ke Jakarta, seorang pemborong kebun durian, bang Rudy mengajak saya dan rombongan singgah di kebun daerah Air Mesu, desa Bukit Kijang, Bangka Tengah. Ia mengaku musim kali ini tak berpihak pada durian Cumasi dan Super Tembaga. Durian lokal yang menjadi harapan satu-satunya.


Setelah itu kami diajaknya masuk ke dalam hutan durian, masih di dalam kawasan Air Mesu, Bangka Barat. Hutan durian tersebut milik keluarga haji Syahrul (56) yang setiap musim panen tiba, ia dan istrinya, Nurmala (54) akan menginap di pondokan dalam hutan durian untuk menjaga sekaligus memanen durian dengan beberapa orang yang mereka pekerjakan. Dalam sehari beberapa tengkulak dan pedagang hilir mudik mengambil hasil panen duriannya.

Di lahan seluas 2 hektar itu, tak kurang dari 200 batang pohon durian sudah berumur puluhan tahun, bahkan ada yang sudah ratusan tahun. Lahan miliknya merupakan peninggalan dari Kelekak, budaya memberi manfaat untuk anak cucu lewat tanaman buah yang di tanam. Kebanyakan jenis buahnya adalah durian, binjai / kemang, dan cempedak.

Konsep Kelekak ini menjadi menarik dan berkesinambungan dengan upaya pelestarian alam dan manusianya. Seorang budayawan Bangka Belitung, Suhaimi Sulaiman bahkan memanjangkannya menjadi “Kelak Kek Ikak”, artinya suatu saat nanti bermanfaat atau dapat diambil manfaatnya oleh kamu-kamu generasi yang akan datang.

Dolan durian ke Bangka memberikan saya banyak pelajaran. Kearifan lokal mereka dengan Konsep Kelekak Nampak nyata lewat kualitas durian yang dihasilkan ketimbang kualitas yang sengata dikebunkan untuk kebutuhan komersial. Tentu bagi saya dan teman-teman pemburu durian, kualitas rasa durian lokal di dalam hutan memberikan ragam rasa yang sangat kuat dan bervariasi.

Apalagi pemilik lahan di sana tidak berani untuk memetik duriannya. Mereka hanya mendistribusikan durian yang sudah jatuh kepada pedagang. Tentu ini adalah syarat utama durian dapat dinikmati dalam kondisi yang sudah pasti matang.

Bangka jadi kota yang menarik buat saya dalam industri durian. Karena bagaimanapun harga harus berbanding lurus dengan kualitas sebagai komitmen pertanggung jawaban.

Lewat sosok haji Ulung yang bersahaja, ramah, dan apa adanya. Ia mampu mempertanggung jawabkan kualitas durian-duriannya. Saya pastikan yang pernah ke tempatnya, bakal balik lagi.

Begitupun juga dengan Ko Acin. Pedagang yang berani menggaransi tanpa basa basi sampai dapat durian terbaik.

Semoga pegiat pertanian di Bangka atau di kota-kota lainnya mau belajar dari dua sosok istimewa tersebut dan mengimplementasikan di kebun dan lapak bakul duriannya masing-masing.

Sesungguhnya durian bukan soal komersil semata melainkan hospitality yang punya dampak ekonomis panjang dengan kesan baik yang terus diingat. Sehingga tamu atau customer yamg sudah merasakannya menjadi ringan untuk merekomendasikan kepada orang lain. Cerita baik dari durian baiklah yang akhirnya membawa rizki untuk mereka.


Penulis: Dzulfikri Putra Malawi  (KangDuren)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuda Lumping, Kesenian Unik Dari Tanah Jawa.

Kuda lumping merupakan salah satu kesenian yang berasal dari tanah Jawa. Pergelaran yang terdiri dari 4 fragmen tarian ini terasa menyeramkan bagi sebagian orang, tetapi merupakan salah satu kesenian yang cukup unik di Indonesia. Belum tercatat secara jelas asal-usulnya Kuda lumping dikenal juga dengan nama jaran kepang. Kesenian ini memperagakan sekelompok penari sedang menunggang kuda. Kuda yang digunakan bukanlah kuda asli, melainkan kuda buatan yang dibuat dari anyaman bambu yang disebut kepang. Anyaman ini dibuat sedemikian rupa, dihias dengan aneka kain serta warna, sehingga membentuk seekor kuda. Para penari yang menunggang kuda ini memerankan tokoh  prajurit. Sayangnya, belum ada asal-usul yang jelas mengenai tarian kuda lumping, bahkan kapan pertama kali kuda lumping diperagakan pun tidak tercatat. Pada 2012 yang lalu, Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) saat itu, Bapak Mohammad Nuh mengatakan bahwa hal ini sangat disayangkan. Tidak tercatatnya kuda

Makna Gebogan dalam Tradisi Hindu di Bali.

Saat kamu berkunjung ke Bali  pasti kamu pernah melihat perempuan Bali yang membawa buah-buahan di atas kepalanya? Ya, itu adalah gebogan. Gebongan atau biasa juga disebut dengan Pajegan adalah suatu bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian buah buahan, jajanan dan bunga yang dikreasikan oleh umat Hindu di Bali. Jenis buah dan jajanan biasanya berinovasi mengikuti perkembangan zaman, jadi apa yang kita makan itulah yang kita persembahkan.       Makna atau filosofi banten gebogan juga terlihat dari bentuknya yang menjulang seperti gunung, makin ke atas makin mengerucut (lancip), dan di atasnya juga diletakkan canang dan sampiyan sebagai wujud persembahan dan bhakti ke hadapan Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Gebogan biasanya diusung oleh para ibu-ibu dan gadis-gadis Bali untuk dihaturkan ke pura saat upacara piodalan atau upacara dewa yadnya lainnya sebagai bentuk rasa syukur atas berkat yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa U

Berebut 1000 anak tangga Bromo dan mengenal Alam indah nya Budaya Bromo.

@anakdolan Gunung bromo adalah salah satu gunung yang berada di Jawa Timur. Gunung bromo tidak hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia saja melainkan juga sudah menjadi agenda kunjungan wisata bagi masyarakat dunia. Gunung bromo tidak pernah sepi dari kunjungan para wisatawan baik domestik maupun mancanegara karena pemandangannya yang begitu menakjubkan nan eksotis. Bahkan wisatawan sengaja tinggal untuk beberapa hari disana karena merasa betah akan keelokan alamnya dan keramahan serta budaya masyarakatnya. Tapi yang bikin seru di tempat ini, pada saat liburan gunung Bromo menjadi ramai pengunjung yang bikin unik macetnya anak tangga gunung ini  1000 anak tangga di kawah gunung bromo ini menjadi Ritual kebiasaan untuk melihat indahnya kawah gunung Bromo. Hal seperti ini hampir setiap hari terjadi gmna tidak anak tangga ini jalan satu2 nya untuk menuju kawah gunung bromo disamping itu banyak orang tua atau lanjut umur kuat naik ke kawah bromo tersebut.Seru!! kan